Pneumonia Pada Anak Balita
Narasumber : Novita Agustina, Ns, M.Kep, Sp.Kep An
(RSMH Palembang)
Kejadian pneumonia diklasifikasikan menjadi
tiga, yaitu pneumonia yang didapat dari komunitas atau Community-Acquired Pneumonia (CAP), pneumonia yang diperoleh di
rumah sakit atau Hospial-Acquired
Pneumonia (HAP) setelah 48 jam masuk rumah sakit, dan pneumonia yang
diperoleh setelah terpasang ventilator (VAP) (Bartolf & Cosgrove, 2016). Pneumonia juga
dibagi tiga kelompok menurut bagan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS), yaitu
1) pneumonia berat jika anak menunjukkan gejala seperti sianosis, distress
pernafasan berat seperti grunting, retraksi dada berat, dan tanda umum yang
berat seperti tidak mau minum/ menetek, letargi dan kejang. 2) pneumonia jika ada tanda-tanda napas cepat
dan retraksi dada, dan batuk. 3) bukan pneumonia jika tidak terdapat tanda dan
gejala pneumonia (Kemenkes, 2015). Pneumonia dibagi
tiga secara morfologik, yaitu pneumonia lobaris, bronkopneumonia, dan pneumonia
interstisial (Hockenberry et al., 2017).
Tanda dan gejala yang khas pada balita pneumonia adalah batuk,
produksi dahak, dispneu, nyeri dada, demam, mudah lelah, berkeringat, sakit
kepala, mual, myalgia, dan kadang disertai dengan diare dan sakit perut (Daily & Ellison Iii, 2019).
Frekuensi napas balita pneumonia
berkisar >40 x/menit untuk 1-5 tahun (Dean & Florin, 2018). Pneumonia balita
kategori berat ditandai dengan adanya stridor, penarikan dinding dada ke dalam,
tidak mampu untuk minum atau menyusui, muntah, kejang, lesu, dan atau penurunan
kesadaran (Mortimer et al., 2017). Pneumonia yang
tidak ditatalaksana dengan tepat akan menyebabkan komplikasi, diantaranya
bacteremia, meningitis, sepsis, emboli septik, dan empiema (Bartolf & Cosgrove, 2016).
Faktor Risiko
Faktor-faktor yang berkaitan dengan kejadian
pneumonia pada anak balita ada dua yaitu faktor intrinsik dan faktor
ekstrinsik. faktor intrinsik diantaranya adalah umur, jenis kelamin, berat
badan lahir rendah atau prematur, riwayat imunisasi, pemberian ASI, staus gizi,
dan pemberian vitamin A. Sedangkan
kepadatan tempat tinggal, kondisi lingkungan rumah, jenis bahan bakar,
penghasilan, keluarga yang merokok, umur dan pendidikan ibu termasuk dalam
faktor ekstrinsik (Mardani, Pradigdo, & Mawarni, 2018).
Faktor-faktor risiko pneumonia yang merusak
pertahanan paru, diantaranya aspirasi, merokok, alkoholisme, kortikosteroid/
imunosupresi, komorbiditas. Alkoholisme, anestesi, neurologis penyakit, dan
gangguan pencernaan dapat meningkatkan risiko aspirasi. Mukosiliar
transportasi, pertahanan humoral dan seluler berubah karena merokok yang
dikaitkan dengan frekuensi CAP yang meningkat. Reflek batuk dan pertahanan
seluler yang rusak, menelan dan transportasi mukosiliar yang berubah
dikarenakan adanya kolonisasi bakteri yang difasilitasi oleh alkohol (Cukic & Hadzic, 2016).
Usia, lokasi geografis, imunisasi, musim,
HIV, kekurangan gizi dan status sosial ekonomi juga merupakan faktor risiko
yang bisa menimbulkan kejadian pneumonia pada anak balita (Nguyen, Tran, Roberts, Graham, & Marais, 2017). Di daerah pedesaan
yang masih menggunakan bahan bakar untuk memasak akan terkena paparan polusi
udara rumah tangga yang berupa asap pembakaran, hal ini menyebabkan angka
kejadian pneumonia pada anak-anak meningkat (Mortimer et al., 2017). Kondisi rumah yang
penghuninya padat, pencemaran udara di dalam rumah seperti tungku dengan kayu
bakar, dan perilaku orang tua yang merokok dapat menjadi penyebab atau
meningkatkan risiko anak terkena pneumonia (Anwar & Dharmayanti, 2014).
Pencegahan
Pencegahan penting untuk bayi, anak-anak,
orang muda dan orang tua dengan memberikan vaksinasi pneumokokus. Vaksin ini
diberikan untuk individu yang beresiko. Selain itu anjurkan atau nasehati untuk
memberhentikan merokok kepada keluarga, menghindari kontak dengan pasien yang
memiliki infeksi saluran pernapasan bawah, kebersihan gigi, dan pemeliharaan
status gizi dengan baik (Bartolf & Cosgrove, 2016).
Pemeliharaan status gizi pada balita adalah
dengan cara pemberian nutrisi yang memadai. Pemberian air susu ibu secara
eksklusif selama enam bulan pertama dapat meningkatkan pertahanan anak terhadap
bakteri (Anwar & Dharmayanti, 2014). Menurut Pollard, (2016), menyebutkan bahwa
zat IgA, lisosom, laktoferin, dan sel darah putih yang terkandung dalam ASI
kolostrum sangat tinggi, sehingga system kekebalan tubuh anak meningkat.
Penanganan
Pasien
dengan pneumonia yang berat dalam waktu satu jam harus mendapatkan pengobatan
antibiotik, selain antibiotik juga pemberian resusitasi cairan yang adekuat,
pemberian terapi oksigen, dan dilakukan observasi ketat serta tambahan perawatan suportif sesuai kebutuhan (Bartolf & Cosgrove, 2016).
Anak-anak yang dirawat di rumah sakit
diberikan tindakan dengan meninggikan tempat tidur bagian kepala dan melakukan
perubahan posisi anak setiap dua jam untuk meningkatkan pernapasan dan drainase
paru. Saturasi oksigen dan kecukupan pertukaran udara dipantau menggunakan
oksimetri nadi, kardiorespirasi juga harus dipantau (James, Nelson, dan Ashwill, 2013).
Terapi pemberian posisi, diberikan untuk
meningkatkan oksigenasi pada pasien sehingga perlu dicari pengaturan posisi
yang tepat untuk meningkatkan kenyamanan balita. Perubahan posisi dianjurkan
untuk pencegahan dan pengobatan penyakit yang terkait sistem organ termasuk
paru-paru, system kardiovaskular, kulit, otot, dan tulang. Anak-anak dengan
pneumonia memerlukan posisi yang nyaman yaitu posisi semi fowler atau posisi
lateral sesuai dengan kenyamanan pasien (Hockenberry et al., 2017).
Referensi:
Anwar, A., & Dharmayanti, I. (2014). Pneumonia
pada anak balita di Indonesia. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 8(8),
359–365. https://doi.org/10.21109/kesmas.v8i8.405.g402
Bartolf, A., & Cosgrove, C. (2016). Pneumonia. Medicine,
44(6), 373–377. https://doi.org/10.1016/j.mpmed.2016.03.004
Cukic, V., & Hadzic, A. (2016). The most common detected
bacteria in sputum of patients with community acquired pneumonia ( CAP )
treated in hospital. Original Paper, 70(5), 354–358.
https://doi.org/10.5455/medarh.2016.70.354-358
Daily, J. S., & Ellison Iii, R. T. (2019). Acute
pneumonia, 889–913.e6. https://doi.org/10.1016/B978-0-323-48255-4.00067-9
Dean, P., & Florin, T. A. (2018). Factors associated with
pneumonia severity in children : a systematic review. Journal of Pediatric
Infection Diseases Society, 7, 323–334.
https://doi.org/10.1093/jpids/piy046
Hockenberry, M. J., Wilson, D., & Rodgers, C. C. (2017). Wong’s
essentials of pediatric nursing (10th ed.). Canada: Elsevier. Retrieved
from http://www.ghbook.ir/index.php?name=فرهنگ و رسانه های نوین&option=com_dbook&task=readonline&book_id=13650&page=73&chkhashk=ED9C9491B4&Itemid=218&lang=fa&tmpl=component
James, S. R., Nelson, K. A., & Ashwill, J. W. (2013). Nursing
care of children. (S. R. James, K. A. Nelson, & J. W. Ashwill, Eds.)
(4th ed.). St. Louis, Missouri: Elsevier Inc.
Kemenkes. (2015). Buku bagan Manajemen Terpadu Balita
Sakit (MTBS). Jakarta: Kementrian Republik Indonesia.
Mardani, R. A., Pradigdo, S. F., & Mawarni, A. (2018).
Faktor risiko kejadian pneumonia pada anak usia 12-48 bulan (studi di wilayah
kerja puskesmas Gombong II kabupaten Kebumen tahun 2017). JURNAL KESEHATAN
MASYARAKAT (e-Journal), 6(1), 581–590. Retrieved from http://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jkm%0A
Mortimer, K., Ndamala, C. B., Naunje, A. W., Malava, J.,
Katundu, C., Weston, W., … Gordon, S. B. (2017). A cleaner burning
biomass-fuelled cookstove intervention to prevent pneumonia in children under 5
years old in rural Malawi (the Cooking and Pneumonia Study): a cluster
randomised controlled trial. The Lancet, 389(10065), 167–175.
https://doi.org/10.1016/S0140-6736(16)32507-7
Nguyen, T. K. P., Tran, T. H., Roberts, C. L., Graham, S. M.,
& Marais, B. J. (2017). Child pneumonia – focus on the Western Pacific
Region. Paediatric Respiratory Reviews, 21, 102–110.
https://doi.org/10.1016/j.prrv.2016.07.004
Pollard, M. (2016). ASI: Asuhan berbasis bukti. Alih
bahasa E Elly Wariawan. Jakarta: EGC.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar