Filosofi Pempek
Narasumber : Ardiansyah, SKM. M.M ( RSMH Palembang)
Pempek adalah makanan khas
Sumatera Selatan (Palembang khusus) yang dibuat dari bahan dasar ikan dan sagu.
Biasanya pempek selalu disajikan dengan sejenis kuah pedas dan menggigit
berwarna coklat kehitaman yang disebut dengan cuko / cuka.
Ada beberapa versi tentang asal
usul makanan khas Palembang ini, versi pertama mengatakan bahwa nama
empek-empek atau pempek diyakini berasal dari sebutan “apek”, yaitu sebutan
untuk lelaki tua keturunan Cina yang tinggal di daerah Perakitan (tepian Sungai
Musi) merasa prihatin menyaksikan tangkapan ikan yang berlimpah di Sungai Musi.
Hasil tangkapan itu belum seluruhnya dimanfaatkan dengan baik, hanya sebatas
digoreng dan dipindang. Si apek kemudian mencoba alternatif pengolahan lain. Ia
mencampur daging ikan giling dengan tepung tapioka, sehingga dihasilkan makanan
baru yang dijajakan oleh para apek dengan bersepeda keliling kota. Para pelanggannya
sering memanggilnya dengan sebutan “pek” “sipek” “apek” (apek dalam bahasa
tionghua berarti paman) , dan sering kali diucapkan berulang menjadi “pek pek”
maka makanan tersebut akhirnya dikenal sebagai pempek Palembang atau
empek-empek Palembang.
Versi lain mengaatakan “Pada masa
Kesultanan Palembang, pempek disebut dengan Kelesan. Kelesan adalah panganan
adat di dalam Rumah Limas yang mengandung sifat dan kegunaan tertentu.
Dinamakan Kelesan karena makanan ini dikeles atau tahan disimpan lama”. Lalu bagaimana
bisa Kelesan menjadi Pempek? Kelesan dijual secara komersial pada zaman
kolonial Belanda. Pada saat itu, banyak sekali orang Melayu Tionghoa atau orang
Cina di Indonesia. Karena kepiawaian warga Tionghoa dalam berdagang, Kelesan
yang dibuat oleh orang asli Palembang dititipkan kepada warga Tionghoa untuk
dijajakan. Para pembeli yang biasa membeli kelesan, dan rata-rata anak muda.
sering memanggil penjual kelesan dengan kalimat, ‘Pek, empek, mampir sini!‘.”
Akhirnya sebutan atau nama Pempek lebih populer dari Kelesan yang bertahan
hingga saat ini.
Lalu bagaimana dengan filosofi
pempek ? Pempek sebagai makanan khas Palembang ternyata bisa diolah menjadi
bahan utama makanan khas Palembang lainnya. Pempek jika diberi kuah bening,
maka akan disebut tekwan. Jika diberi kuah santan disebut celimpungan, jika
dimasak dengan santan merah akan menjadi Laksan, dan jika dimakan dengan cuka
dan mie maka disebut Rujak mie.
Dari sini kita bisa belajar bahwa
dimana pun kita tinggal dan bergaul kita harus bias menjadi orang yang membaur
dan membawa manfaat bagi orang lain, seperti bunyi pepatah yang mengatakan “dimana bumi dipijak, disitu langit
dijunjung” sesuai dengan apa yang
dulu pernah kita pelajari tentang proses asimilasi, bahwa asimilasi adalah pembauran dua kebudayaan yang disertai
dengan hilangnya ciri khas kebudayaan asli sehingga membentuk kebudayaan baru.
Untuk menciptakan asilmilasi yang baik diperlukan toleransi, sikap terbuka,
persamaan dalam unsur – unsur kebudayaan, dan sikap menghormati (disarikan dari berbagai sumber)
(Doc. Hukormas RSMH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar