Rabu, 25 Agustus 2021

Filosofi Pempek

 

Filosofi Pempek

Narasumber : Ardiansyah, SKM. M.M ( RSMH Palembang)


Sambil menunggu datangnya inspirasi untuk menulis artikel sore ini, saya membuat secangkir kopi dan membuka kulkas sambil mencari cemilan yang bisa  dimakan menemani secangkir kopi tadi. Nampaklah pempek (makanan khas Palembang) yang dibuat oleh istri tercinta dan jadilah ngopi sore ini ditemani dengan pempek rebus.

Pempek adalah makanan khas Sumatera Selatan (Palembang khusus) yang dibuat dari bahan dasar ikan dan sagu. Biasanya pempek selalu disajikan dengan sejenis kuah pedas dan menggigit berwarna coklat kehitaman yang disebut dengan cuko / cuka.

Ada beberapa versi tentang asal usul makanan khas Palembang ini, versi pertama mengatakan bahwa nama empek-empek atau pempek diyakini berasal dari sebutan “apek”, yaitu sebutan untuk lelaki tua keturunan Cina yang tinggal di daerah Perakitan (tepian Sungai Musi) merasa prihatin menyaksikan tangkapan ikan yang berlimpah di Sungai Musi. Hasil tangkapan itu belum seluruhnya dimanfaatkan dengan baik, hanya sebatas digoreng dan dipindang. Si apek kemudian mencoba alternatif pengolahan lain. Ia mencampur daging ikan giling dengan tepung tapioka, sehingga dihasilkan makanan baru yang dijajakan oleh para apek dengan bersepeda keliling kota. Para pelanggannya sering memanggilnya dengan sebutan “pek” “sipek” “apek” (apek dalam bahasa tionghua berarti paman) , dan sering kali diucapkan berulang menjadi “pek pek” maka makanan tersebut akhirnya dikenal sebagai pempek Palembang atau empek-empek Palembang.

Versi lain mengaatakan “Pada masa Kesultanan Palembang, pempek disebut dengan Kelesan. Kelesan adalah panganan adat di dalam Rumah Limas yang mengandung sifat dan kegunaan tertentu. Dinamakan Kelesan karena makanan ini dikeles atau tahan disimpan lama”. Lalu bagaimana bisa Kelesan menjadi Pempek? Kelesan dijual secara komersial pada zaman kolonial Belanda. Pada saat itu, banyak sekali orang Melayu Tionghoa atau orang Cina di Indonesia. Karena kepiawaian warga Tionghoa dalam berdagang, Kelesan yang dibuat oleh orang asli Palembang dititipkan kepada warga Tionghoa untuk dijajakan. Para pembeli yang biasa membeli kelesan, dan rata-rata anak muda. sering memanggil penjual kelesan dengan kalimat, ‘Pek, empek, mampir sini!‘.” Akhirnya sebutan atau nama Pempek lebih populer dari Kelesan yang bertahan hingga saat ini.

Lalu bagaimana dengan filosofi pempek ? Pempek sebagai makanan khas Palembang ternyata bisa diolah menjadi bahan utama makanan khas Palembang lainnya. Pempek jika diberi kuah bening, maka akan disebut tekwan. Jika diberi kuah santan disebut celimpungan, jika dimasak dengan santan merah akan menjadi Laksan, dan jika dimakan dengan cuka dan mie maka disebut Rujak mie.

Dari sini kita bisa belajar bahwa dimana pun kita tinggal dan bergaul kita harus bias menjadi orang yang membaur dan membawa manfaat bagi orang lain, seperti bunyi pepatah yang mengatakan “dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”  sesuai dengan apa yang dulu pernah kita pelajari tentang proses asimilasi, bahwa asimilasi  adalah pembauran dua kebudayaan yang disertai dengan hilangnya ciri khas kebudayaan asli sehingga membentuk kebudayaan baru. Untuk menciptakan asilmilasi yang baik diperlukan toleransi, sikap terbuka, persamaan dalam unsur – unsur kebudayaan, dan sikap  menghormati (disarikan dari berbagai sumber)

(Doc. Hukormas RSMH)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERAN VIDEOTRON DI RUMAH SAKIT Narasumber : Akhmad Suhaimi, S.Sos, M.Si (Hukormas RSMH)

  PERAN VIDEOTRON DI RUMAH SAKIT Narasumber : Akhmad Suhaimi, S.Sos, M.Si (Hukormas RSMH)   Rumah sakit    merupakan fasilitas umum yang keb...