Persiapan Operasi di Masa Pandemi
Narasumber: Ade Putri Ayu & Henny Apriyanti ( RSMH Palembang)
Keamanan prosedur operasi di tengah Covid-19 menjadi topik yang banyak dibahas. Terutama oleh mereka dan keluarga yang mesti menjalaninya di masa pandemi saat ini. Operasi ketika pandemi memang berisiko lebih tinggi, namun itu bukan berarti operasi tidak aman.Di setiap rumah sakit ada dua macam operasi, yakni operasi terencana dan operasi darurat. Perbedaannya terletak pada waktu pelaksanaan operasi. Operasi terencana telah dijadwalkan sesuai dengan kebutuhan. Sedangkan operasi darurat adalah operasi yang mendesak dilakukan, bahkan pada saat itu juga.
Setiap rumah sakit tentu memiliki prosedur tersendiri yang mengacu pada protocol kesehatan dalam pelaksanaan operasi di tengah Covid-19. Prosedur tersebut biasa disebut skrining. Rumah sakit akan menginformasikan pasien dan keluarganya soal skrining ini. Harapannya, risiko penularan virus corona bisa diminimalkan bila semua pihak terkait mematuhi prosedur tersebut.
Skrining adalah system penapisan dengan menggunakan serangkaian kegiatan seperti pemeriksaan suhu tubuh menggunakan thermal gun, pertanyaan sederhana yang ada dalam form penapisan Covid-19 dan pemeriksaan laboratorium, termasuk di dalamnya rapid test dan swab. Tujuannya untuk mengidentifikasi adanya gejala Covid-19 pada pasien yang direncanakan akan dilakukan tindakan operasi. Berikut macam-macam skrining yang sering digunakan
1. Skrining Menggunakan Pemeriksaan RT-PCR
Metode Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) adalah pemeriksaan amplifikasi asam nukleat untuk virus ribonucleic acid (RNA). Sampel yang paling sering digunakan adalah swab tenggorokan bagian nasofaring yang paling sensitif, atau orofaring. Sampel swab kemudian diletakkan dalam cairan untuk melepaskan RNA virus kedalam larutan, dan secara bertahap dilakukan amplifikasi menggunakan RT-PCR.
Swab nasofaring atau orofaring sering direkomendasikan untuk skrining atau diagnosis dini Covid-19, yang terbaik adalah swab nasofaring tunggal karena nyaman untuk pasien dan aman untuk operator tenaga medis. Menurut centers for disease control and prevention (CDC), pemeriksaan ini memiliki sensitivitas sekitar 66–80%, dan sekitar 20 – 33 % dapat menghasilkan positif palsu.
Rekomendasi kementerian kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes-RI), bagian direktorat jenderal pencegahan dan pengendalian penyakit, adalah semua pasien tanpa gejala dilakukan pengambilan sampel untuk pemeriksaan RT-PCR sebanyak 2x, yaitu pada hari ke-1 dan hari ke-14. Untuk pasien terkonfirmasi Covid-19 dan tersangka kontak dengan pasien Covid-19 apabila terjadi perburukan, dapat dilakukan pengambilan sampel swab 2x yaitu pada hari ke-1 dan ke-2.
2. Skrining Menggunakan Pemeriksaan Antibodi
Pemeriksaan antibody dikenal dengan sebutan rapid test. Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi antibody menggunakan dasar pemeriksaan IgM, IgG, IgA, atau Ig total tubuh. Pembentukan respon antibody tersebut membutuhkan waktu, pada kasus SARS-CoV-2 banyak penelitian menyebutkan bahwa respon serologi terbentuk di hari ke 7-11 setelah terpapar virus. Antibodi SARS-CoV-2 sendiri tidak selalu ada dalam darah.
American Society of Anesthesiologists (ASA) dan Anesthesia Patient Safety Foundation (APSF) tidak menyarankan pemeriksaan antibodi SARS-CoV-2, karena tidak mempunyai peran dalam skrining dan penggolongan risiko. Kelemahan pemeriksaan antibodi adalah tidak semua pasien terinfeksi Covid-19 membentuk antibodi yang dapat dideteksi alat dan menyebabkan hasil negative palsu. Selain itu, dapat terjadi reaksi silang dengan virus corona jenis lainnya sehingga menghasilkan hasil positif palsu. Jenis antibodi yang dideteksi alat adalah IgM, IgG, IgA dan Ig total, dimana pada fase asimtomatis pemeriksaan antibody tidak terdeteksi. Deteksi antibody tidak sama setiap jenisnya, IgM dan IgA terdeteksi mulai hari ke 3–6 setelah onset gejala, sementara IgG mulai terdeteksi hari ke 10–18 setelah onset gejala.
3. Skrining Menggunakan Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium darah dapat memberikan hasil yang lebih cepat. Karena itu, sambil menunggu hasil pemeriksaan RT-PCR dapat mengambil keputusan berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan yang dapat dijadikan skrining pasien Covid-19 adalah parameter hematologi, koagulasi, dan kimia klinik.
Hasil pemeriksaan berupa leukositosis, limfopenia, neutrofilia, pemanjangan international normalized ratio (INR), dan kadar D-Dimer meningkat terjadi pada kurang lebih 30% pasien terkonfirmasi Covid-19. Limfopenia sendiri ditetapkan sebagai parameter paling sering ditemukan pada pasien Covid-19. Bagian anestesi rumah sakit Prince Wales Hongkong dan departemen bedah fakultas kedokteran Universitas Hashemite Yordania merekomendasikan pemeriksaan parameter hematologi sebagai skrining sebelum operasi.
Selain itu, anestesi rumah sakit Prince Wales Hongkong dan departemen bedah fakultas kedokteran Universitas Hashemite Yordania merekomendasikan parameter kimia klinik yang layak dipertimbangkan sebagai skrining Covid-19 adalah peningkatan lactate dehydrogenase (LDH), kreatinin kinase, alanin amino tranferase, aspartat amino transferase, dan peningkatan C-reactive protein (CRP). Parameter laboratorium yang berperan sebagai konfirmasi pneumonia adalah analisa gas darah dengan hasil saturasi oksigen ≤ 93%.
4. Skrining Menggunakan Pemeriksaan Pencitraan
Hasil pemeriksaan rontgen toraks yang normal tidak dapat menyingkirkan diagnosis Covid-19, sehingga pemeriksaan tersebut pada pasien sebelum operasi dilakukan tidak untuk skrining Covid-19. Sedangkan pemeriksaan CT scan thorax hanya dilakukan bila ditemukan gejala pernapasan yang semakin memburuk, yaitu untuk menegakkan diagnosis pneumonia.
Hasil skrining ini dapat menetukan akan dilakukan langsung dijadwalkan operasi atau melakukan perawatan terlebih dahulu. Berdasarkan asosiasi bedah saraf Italia, pasien sebelum operasi dibagi menjadi empat, yaitu:
1. Kasus Terkonfirmasi.
Pasien terkonfirmsi kasus Covid-19 dilihat melalui pemeriksaan reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) menggunakan sampel swab nasofaring. Atau pemeriksaan serologi immunoglobulin atau IgM – IgG reaktif, meskipun pemeriksaan serologi tidak menggambarkan infeksi aktif tetapi hanya gambaran kontak sebelumnya dengan virus corona.
2. Kasus Tersangka
Kasus Tersangka adalah pasien dengan kondisi mungkin memiliki riwayat kontak dengan pasien Covid-19, Disertai gejala infeksi Covid-19 (seperti demam, gangguan pernapasan, dan pneumonia khas Covid-19 yang terdiagnosis oleh CT scan thorax), ditemukan juga leukopenia dan, belum ada hasil pemeriksaan PCR
3. Kasus Risiko Tinggi
Kasus Risiko Tinggi adalah pasien dengan kondisi tidak terdapat gejala Covid-19, tidak menunjukkan kelainan laboratorium atau radiologi, tetapi mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien terkonfirmasi positif atau tersangka Covid-19, belum ada hasil pemeriksaan PCR.
4. Kasus Risiko Rendah
Kasus Risiko Rendah adalah pasien yang tidak mempunyai riwayat kontak, hasil tes RT-PCR negatif, dan tidak memiliki gejala klinik maupun manifestasi Covid-19 yang tampak melalui CT-scan thorax.
Jadi pasien dan keluarga yang akan melakukan prosedur operasi tidak perlu takut bila pihak rumah sakit meminta dilakukan proses skrining dan swab. Prosedur itu dilakukan untuk menentukan keamanan dan perawatan yang tepat bagi pasien di rumah sakit. Pasien dan keluarga berhak mengetahui prosedur apa yang akan dan perlu dilakukan pada pasien untuk mencapai kesembuhanya.
Refrensi: Dari berbagai sumber
( Dok. Hukormas RSMH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar